Indonesia akan Kaji Ulang Pungutan Ekspor Minyak Sawit Mentah

ALLFINANCEADVICE Pemerintah tengah mempertimbangkan peninjauan ulang pungutan ekspor minyak sawit mentah ( CPO ) yang saat ini ditetapkan sebesar 7,5%. Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, mengatakan peninjauan ulang diperlukan untuk memastikan dua faktor utama, yakni peningkatan kesejahteraan petani melalui harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi dan menjaga harga CPO yang kompetitif di tingkat global. 

” Pungutan ekspor memang harus dievaluasi secara berkala,” kata Dida saat ditemui dalam diskusi tentang kelapa sawit di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin, 18 November 2024.

Dida menegaskan, relatif stabilnya produksi dan ekspor CPO dalam negeri, ditambah dengan harga minyak sawit yang terus meningkat, menunjukkan daya saing harga masih memadai.

“Selama kondisi ini masih terjadi, kami akan melakukan evaluasi secara berkala, biasanya setiap tiga hingga enam bulan,” imbuh Dida.

Ia tidak menampik bahwa peninjauan ulang dapat mengakibatkan perubahan kebijakan pungutan ekspor CPO, tetapi hasilnya masih belum pasti. Evaluasi tersebut, lanjutnya, bertujuan untuk menyeimbangkan kebutuhan dalam negeri dan kesehatan keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

“Hasilnya akan bergantung pada proses peninjauan,” jelas Dida.

Sebelumnya, pada 11 September 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani menandatangani kebijakan tarif baru yang mengenakan bea keluar sebesar 7,5% terhadap CPO, berdasarkan harga acuan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan. Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/2024 ini mulai berlaku pada 21 September 2024.

Selain itu, pungutan ekspor untuk biji sawit dan bungkil inti sawit ditetapkan sebesar US$25 per ton. Produk turunan sawit dikenakan pungutan ekspor sebesar 3%, 4,5%, dan 6% dari harga acuan Kementerian Perdagangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan penurunan tahunan ekspor CPO Indonesia sebesar 26,39% pada Agustus 2024. Hal ini dilaporkan karena harga minyak sawit yang kurang kompetitif dan tantangan ekonomi global.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *