Jakarta – Di tengah kondisi pasar global yang bergejolak akibat tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump , ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mendesak pemerintah untuk merevitalisasi pasar modal.
Menurut Wijayanto, kondisi pasar modal menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Wijayanto mengusulkan tiga langkah. “Pertama, pemerintah harus memprioritaskan transformasi pasar modal Indonesia,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ‘Perang Dagang Trump: Selamatkan Pasar Modal, Bangkitkan Ekonomi Indonesia’ pada Jumat, 11 April 2025.
Wijayanto menyebutkan, di negara maju, pasar modal tidak hanya dipandang sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai alat mendistribusikan kekayaan masyarakat.
Dia menjelaskan, masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah bisa mendapatkan keuntungan lewat dana pensiun dan reksa dana.
Kedua, ia menyebut otoritas pasar modal memiliki pekerjaan rumah untuk menegakkan tata kelola perusahaan yang baik.
Ketiga, ia menegaskan agar pemerintah segera mengakhiri ketergantungannya pada Surat Berharga Negara dan Surat Berharga Rupiah. Penerbitan SBN ( Surat Berharga Negara) berimbal hasil tinggi dalam skala besar , jelasnya, mengalihkan modal dari pasar modal. Ia merekomendasikan agar dialihkan ke sumber pendanaan yang lebih berkelanjutan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan hingga Maret 2025, pembiayaan utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp282,6 triliun atau 44 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Realisasi pembiayaan utang itu sendiri sebesar Rp270,4 triliun atau 34,8 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Sri Mulyani mengakui adanya lonjakan utang. Namun, ia mengklaim hal itu sebagai strategi frontloading, yakni menarik utang dalam jumlah besar di awal periode anggaran.
Menurut Sri, strategi ini dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan Trump yang menyebabkan ketidakstabilan di pasar global.
“Jadi kalau kita melakukan frontloading itu bukan karena tidak punya uang, itu strategi penerbitan untuk mengantisipasi ketidakpastian yang pasti akan menimbulkan kenaikan,” kata Sri Mulyani dalam Seminar Ekonomi, Selasa, 8 April 2025 di Jakarta, dikutip dari siaran Youtube Sekretariat Presiden.