Korupsi Timah Rugikan Negara Lebih dari Rp271 T

ALLFINANCEADVICE – Kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) pada tahun 2015 hingga 2022 rupanya mengakibatkan kerugian lingkungan hingga Rp 271 triliun. Dan, masih ada lagi kerugian negara yang sedang dihitung. Berdasarkan perhitungan pakar lingkungan hidup Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung (Kejagung), setidaknya kerugian kerusakan hutan di Bangka Belitung (Babel) akibat kasus ini mencapai Rp 271 triliun. . .

Besaran tersebut merupakan perhitungan kerugian kerusakan lingkungan hidup pada kawasan hutan dan kawasan non hutan. Pakar IPB ini merinci penghitungan kerugian kawasan hutan dan non hutan. Lebih lanjut, tim ahli mencatat total luas penggalian terkait kasus di Babel sekitar 170.000 hektar (10% luas Pulau Babel).

Namun luas galian yang memiliki IUP hanya 89.000 hektare. Perhitungan kerugian berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014.

Dan, kerugian tersebut akan kita tambah dengan kerugian keuangan negara yang saat ini masih diproses. “Kami masih menunggu hasilnya,” kata Jaksa Agung.

Diketahui total tersangka dalam kasus ini berjumlah 16 orang. Terbaru, Kejaksaan Agung menetapkan suami aktris sekaligus Crazy Rich PIK, Helena Lim, sebagai tersangka kasus korupsi. Selain perusahaan swasta, 16 tersangka tersebut antara lain Direktur Utama TINS 2016-2021 dan Direktur Keuangan TINS 2017-2018.

Modus korupsi terjadi dengan cara yang spektakuler. Di wilayah pertambangan TINS banyak terjadi penambangan liar yang dilakukan pihak swasta dan hasil penambangannya kemudian dijual ke TINS dengan harga yang lebih mahal dibandingkan jika BUMN menambang sendiri. Bisa diibaratkan seperti ada pencuri di rumah Anda, lalu pencuri itu menjual barang curiannya kepada Anda, dengan harga yang lebih mahal. Hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali penjaga rumah bekerja sama dengan pencuri.

Inilah fenomena pagar tanaman yang memakan tanaman. Mereka yang seharusnya dipercaya mengelola uang rakyat malah berkolusi dengan pencuri untuk mencuri kekayaan demi kepentingan pribadinya. Jika kita melihat Teori Principal-Agent terlihat bahwa agen yaitu pengelola BUMN telah menjadi agen yang jahat.

Menurut Teori Segitiga Penipuan, orang melakukan penipuan, termasuk korupsi. Triagle Fraud adalah tekanan, peluang dan rasionalisasi. Konsep segitiga penipuan pertama kali diperkenalkan oleh Donald R. Cressey (1953) dalam disertasinya. Cressey tertarik pada penggelapan yang ia sebut sebagai “pelanggar kepercayaan”, yaitu mereka yang melanggar amanah atau amanah yang dipercayakan kepada mereka. Mereka yang seharusnya menjaga kekayaan negara malah berkhianat dengan cara merampok.

Dalam konteks pengelolaan dan tata kelola organisasi, kasus korupsi yang menimpa PT Timah Tbk, perusahaan pertambangan negara yang beroperasi di wilayah IUP komoditas timah pada tahun 2015 hingga 2022, jelas mengungkap kompleksitas dan dampak destruktif dari praktik korupsi. Kerugian akibat tindakan ini – sebesar Rp 271 triliun akibat kerusakan lingkungan di Babel, seperti dilansir pakar lingkungan hidup dari IPB – memberikan contoh nyata bagaimana korupsi tidak hanya merugikan secara finansial tetapi juga lingkungan dan sosial.

Analisis Masalah Principal-Agent dan Teori Segitiga Fraud

Analisis mendalam terhadap kasus ini melalui kacamata Principal-Agent Problem dan Fraud Triangle Theory memberikan wawasan penting mengenai mekanisme internal dan eksternal yang gagal dalam mencegah korupsi, serta langkah-langkah preventif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Konsep Principal-Agent Problem menunjukkan adanya misalignment kepentingan antara pemegang saham, dalam hal ini negara dan masyarakat (principal) serta direksi/manajemen (agent) PT Timah Tbk.

Kegagalan dalam sistem pengawasan dan pengendalian internal memberikan peluang bagi agen untuk bertindak demi keuntungan pribadi yang berujung pada korupsi. Penambangan ilegal dan penjualan hasil tambang kepada perusahaan timah milik negara dengan harga tinggi merupakan wujud konflik kepentingan dan asimetri informasi yang ekstrim, dimana agen mempunyai lebih banyak pengetahuan dan keuntungan dari aktivitas korupsi tersebut dibandingkan pemegang saham atau prinsipal.

Kasus TINS menunjukkan penerapan langsung dari tiga elemen utama Segitiga Penipuan: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi keuangan yang tidak realistis, ditambah dengan lemahnya pengendalian internal, menciptakan peluang terjadinya korupsi. Sementara itu, budaya organisasi yang membenarkan atau bahkan mendorong perilaku korup memungkinkan individu untuk merasionalisasi tindakan mereka sebagai hal yang “normal” atau “perlu.”